3/24/2019

Pukul 09.27

https://stocksnap.io/photo/HOHJK6B7TD

Sabtu, 31 Januari. Pukul 09.27.
Sebuah kedai kopi yang terletak di bahu jalan raya, My Memories—sebagaimana yang tertulis pada plakat besar di salah satu sudut kedai kopi itu—, bisa dibilang cukup ramai pagi ini. Para pecandu kopi yang terbiasa dengan rutinintas meminum kopi sebelum memulai hari mereka adalah mayoritas pelanggan My Memories. Tidak heran, di daerah ini My Memories cukup terkenal dengan kopi-kopi yang mereka buat. Selain variasi menu yang bermacam-macam, konon, barista My Memories menambahkan satu bahan dasar rahasia dalam kopi buatannya.
Satu bahan dasar rahasia itu, tidak ada yang tahu.
Tanganku meraih gelas di atas meja dan meneguk kopi di dalamnya. Hmm, Vanilla Latte panas memang tidak ada tandingannya. Setelah meletakkan gelas itu kembali, aku mengambil sepotong cheesecake dari atas meja dan menggigitnya.
My Memories sendiri didesain sangat manis dengan dominan warna coklat kayu. Bangku dan meja yang tersusun, ada di bagian dalam dan bagian luar. Dua bagian itu dipisah oleh kaca dan pintu. Aku sendiri sangat suka duduk di luar. Meski alih-alih terkena dinginnya AC dan malah dihujani oleh sinar matahari dan polusi, paling tidak aku suka dibasuh oleh angin alami.
Sembari menikmati cheesecake, mataku menyapu jalan raya. Memandangi kendaraan bermotor yang menguasai jalanan. Beberapa pengendara terlihat semberono. Aku menggeleng cepat melihat bagaimana pengendara sepeda motor tanpa takut menyalip dari sisi kiri mobil dengan kecepatan di atas rata-rata.
Bosan dengan pemandangan itu, aku mengalihkan mataku pada toko bunga di seberang jalan. Oh, mataku sekarang jadi amat segar. Entah kenapa melihat deretan bunga di toko itu membuat kakiku ingin segera melangkah ke sana dan membeli beberapa tangkai mawar untuk menghiasi vas bunga di kamarku. Baiklah, aku akan mampir ke toko itu setelah menghabiskan kopi dan cheesecake-ku.
Tepat saat itu, aku melihat sebuah truk berjalan dengan kecepatan penuh dan sama sekali tidak menarik pedal gasnya meski banyak pengendara lain mulai gemas dan menekan klakson kendaraan mereka. Truk dengan muatan—yang mungkin, aku menduga adalah—barang-barang berat untuk atau dari pabrik itu malah balas mengklakson pengendara lain berkali-kali seolah tidak tahu bahwa dirinyalah yang bersalah.
Entah mengapa, melihat keributan klakson itu membuat jantungku berdegup amat cepat hingga aku menutup mata.
Tidak ingin melihat keramaian itu.
Saat aku membuka mata, truk itu sudah tidak ada di depan kedai kopi lagi. Keributan klakson itu berhenti. Sudah menjauh, meski samar-samar aku masih mendengarnya.
Aku mengalihkan pandanganku pada toko bunga itu lagi. Ah, ternyata ada pelanggan. Seorang laki-laki sedang berdiri berhadapan dengan gadis di belakang kasir, menyerahkan beberapa lembar uang, lalu keluar dari toko bunga itu sambil membawa sebuket mawar merah di pelukannya dan senyum tipis di bibirnya.
Laki-laki itu …
Aku seperti mengenalnya. Tapi siapa dia?
***
Minggu, 1 Februari. Pukul 09.27.
Sebuah kedai kopi yang terletak di bahu jalan raya, My Memories, bisa dibilang cukup ramai pagi ini. Mayoritas pelanggannya adalah mereka, para pecandu kopi. Tidak heran, di daerah ini My Memories cukup terkenal dengan kopi-kopi yang mereka buat. Selain variasi menu yang bermacam-macam, konon, barista My Memories menambahkan satu bahan dasar rahasia dalam kopi buatannya.
Satu bahan dasar rahasia itu, tidak ada yang tahu.
Bel pintu berbunyi. Aku melirik dari ujung mataku, seorang wanita dengan seragam pelayan My Memories berjalan keluar dari kedai kopi itu.
Tanganku meraih gelas di atas meja dan meneguknya. Vanilla Latte panas. Setelah itu kuletakkan kembali ke atas meja, dan mengambil sepotong cheesecake di sampingnya.
Sambil menikmati cheesecake, aku menatap jalan raya yang ramai dengan kendaraan bermotor. Lalu mendapati seorang pengendara sepeda motor tanpa ragu menyalip dari sisi kiri mobil dengan kecepatan bukan main. Membuatku menggeleng kepala, sebelum mengalihkan mata pada toko bunga yang terletak di seberang jalan. Tidak ada pelanggan di dalamnya, yang ada hanyalah seorang gadis di balik mesin kasir yang sesekali menata bunga-bunga dalam toko itu. Ah, melihat mawar merah segar yang terpampang di balik kaca membuatku ingin menghampiri toko itu, tentu saja nanti setelah aku menghabiskan kopi dan cheesecake-ku.
Kemudian, aku melihat sebuah truk berjalan dengan kecepatan penuh dan menyetir dengan tidak benar. Beberapa kali truk itu hampir menyerempet sepeda motor yang ada di sisi badannya. Namun seolah sang supir sama sekali tidak peduli, truk itu tetap berjalan dengan kecepatan di atas rata-rata. Perang klakson pun terjadi antara pengendara lain dan supir truk. Lantas kututup mataku.
Saat kubuka mata, truk itu sudah menjauh. Mataku kini menatap toko bunga yang ada di seberang. Seorang laki-laki memberikan beberapa lembar uang pada gadis di belakang kasir dan berjalan keluar dari toko bunga itu dengan sebuket mawar merah di pelukannya dan senyum tipis di bibirnya.
Laki-laki itu … entah mengapa, aku merasa aku mengenalnya. Tapi siapa?
Aku berdiri dari kursi dan pergi keluar dari My Memories, meninggalkan Vanilla Latte-ku yang masih tersisa. Jalan raya yang ramai itu kuseberangi, lalu berlari kecil mengikuti laki-laki dengan sebuket mawar merah itu dari belakang.
Ia berbelok. Namun tiba-tiba, aku kehilangan sosoknya.
***
Senin, 2 Februari. Pukul 09.27.
My Memories cukup ramai pagi ini. Mayoritas pelanggan mereka adalah para pecandu kopi. Tidak heran, My Memories sudah mengukir nama baik mereka selama ini lewat kopi-kopi yang mereka buat. Bahkan konon, masyarakat bilang barista My Memories menambahkan satu bahan dasar rahasia di dalam kopi buatannya.
Aku tersenyum tipis. Satu bahan dasar rahasia, ya?
Bel pintu berbunyi. Aku melirik dari ujung mataku, seorang wanita dengan seragam pelayan My Memories berjalan keluar dari kedai kopi itu.
Aku meneguk Vanilla Latte-ku, lalu memakan cheesecake. Sambil menggigit sepotong demi sepotong, aku menikmati pemandangan jalan raya. Aku menggelengkan kepala saat melihat salah satu sepeda motor menyalip mobil dari sisi kiri. Lalu pandanganku beralih pada toko bunga yang tak berpelanggan di seberang jalan. Melihat gadis yang berdiri di balik mesin kasir dan dereten bunga di toko itu menumbuhkan niat dalam hatiku untuk mampir ke sana setelah dari sini.
Mataku kemudian mendapati truk berjalan dengan kecepatan di atas rata-rata, tidak peduli dengan para pengendara di sekitarnya dan menyetir ugal-ugalan. Terjadi adu klakson antara mereka, tepat saat mataku bertatapan dengan mata supir truk tersebut. Melihat truk yang sedikit mengarah dekat dengan My Memories membuatku menutup mata. Ketakutan.
Namun saat aku membuka mata, truk itu sudah tidak ada. Menjauh—mungkin.
Pandanganku teralih ke toko bunga yang ada di seberang jalan. Seorang laki-laki dengan jaket hitam berdiri di depan gadis yang ada di balik kasir. Ia menyodorkan beberapa lembar uang sebelum keluar dari toko bunga itu dengan membawa sebuket mawar merah di pelukannya dan tersenyum tipis. Tapi, aku tidak mengerti mengapa mata laki-laki itu terlihat amat sangat sedih, berkebalikan dengan senyum yang ia sunggingkan.
Tidak. Senyum itu bukan karena bahagia.
Dan aku yakin aku mengenalnya. Aku bahkan yakin aku tahu siapa namanya. Hanya saja, sesuatu seperti menghalangi ingatanku.
Aku berdiri dari kursi dan pergi keluar dari My Memories, meninggalkan Vanilla Latte-ku yang masih tersisa. Kakiku berlari kecil menyeberangi jalan raya dan mengikuti laki-laki berjaket hitam itu dari belakang, sembari masih berusaha keras aku mengingat namanya.
Dia berbelok. Aku masih mengikuti, dan kurasa laki-laki itu tidak tahu keberadaanku. Oh sungguh, apa aku pintar, atau memang dia yang bodoh, karena aku tidak yakin aku adalah penguntit yang hebat. Namun tak lama kemudian, keningku berkerut. Dia … menuju ke pemakaman?
Aku sempat ragu akan terus mengikutinya atau tidak. Karena sungguh, kenapa aku harus mengikutinya? Aku tidak tahu. Tapi aku merasa aku benar-benar harus mengikutinya.
Dengan langkah yakin dan mantap, aku berjalan di belakangnya. Di pemakaman itu hanya ada kami berdua, satu keluarga lain yang mungkin sedang mengunjungi keluarga mereka, dan beberapa penjaga yang ada di depan gerbang. Laki-laki berjaket hitam itu berhenti, membuatku sedikit kaget dan langsung ikut menghentikan langkahku.
Ia berjongkok di dekat salah satu makam. Menukar sebuket mawar yang sudah lebih dulu ada di sana, dengan sebuket mawar yang ia bawa. Walau mawar yang itu masih belum layu, tapi ia sudah menggantinya.
Tangannya menyentuh nisan itu amat lembut.
Oh, rupa-rupanya pemilik nisan itu adalah sosok terkenal, atau mungkin cukup terkenal, karena di makamnya banyak sekali bunga-bunga yang diletakkan—berbeda dengan makam-makan lain yang minim sekali bunga. Namun, di antara bunga-bunga itu, hanya ada sebuket saja mawar merah. Dan entah mengapa, di mataku, mawar merah itulah yang paling menarik perhatian.


Laki-laki itu berbisik, dan aku yakin sangat pelan, namun aku tidak tahu mengapa aku bisa mendengarnya. “Kau tidak perlu khawatir, aku akan tetap datang ke sini. Akan selalu kujaga mawar-mawar untukmu tetap segar setiap hari, agar kau tidak pernah merasa kesepian.”
Ia meneteskan air mata, yang anehnya langsung membuat dadaku sakit. “Jangan pernah merasa terbebani untuk pergi. Pergilah dengan tenang. Akan kukirimkan ribuan mawar bersama denganmu. Yang perlu kau ingat hanya satu. Tolong jangan pernah kau lupa, aku tetap mencintaimu sampai kapan pun.”
Demi Tuhan, aku mulai ketakutan. Aku bahkan tidak tahu apa yang kutakuti. Aku hanya merasa takut. “Aku juga sangat bahagia pernah mengenalmu. Dan aku yakin aku akan lebih bahagia di kehidupan selanjutnya, karena aku akan kembali mengenalmu,” katanya dengan nada suara lebir berat dari sebelumnya, seolah ia sedang berusaha menahan kesedihan di hatinya.
“Serta karena di saat itu, kebersamaan kita abadi,” kata laki-laki itu sambil tertawa, namun di saat yang bersamaan satu tetes air mata muluncur di pipinya.
Aku pun begitu. Pipiku dibasahi setetes air mata. Meski pandanganku mengabur akibat genangan air, dapat kulihat cukup jelas nama yang terukir di batu nisan itu. Samar-samar telingaku mendengar suara adu klakson yang amat menakutkan, teriakan-teriakan yang tidak dapat kuhindarkan, suara seorang laki-laki yang memanggil namaku berkali-kali dengan nada cemas dan khawatir. Aku bisa merasakan kehilangannya. Aku dapat memahami kesedihannya.
Semua akan baik-baik saja …
Seketika, aku mengingat segalanya. Termasuk apa yang sebenarnya terjadi.
***
30 Januari. Pukul 09.27.
My Memories, kedai kopi yang terletak di bahu jalan raya, terlihat cukup ramai pagi ini. Mayoritas pelanggannya adalah para pecandu yang enggan mengawali hari mereka sebelum meneguk segelas kopi. My Memories sendiri sudah dilabeli oleh masyarakat sebagai kedai yang menyediakan berbagai macam variasi kopi dengan rasa yang membuat indra pengecap mereka jadi candu. Bahkan beredar gosip di kalangan masyarakat, bahwa barista My Memories memiliki satu bahan dasar rahasia yang ditambahkan pada kopi-kopi buatannya.
Aku tersenyum tipis. Satu bahan dasar rahasia, ya?
Biar kuberitahu, yang seperti itu nyatanya tidak ada. Mungkin yang menjadi nilai plus dari barista My Memories adalah kecintaan mereka pada kopi. Tidak selalu seorang barista juga mencintai kopi. Tapi My Memories merekrut barista mereka dengan cara yang pintar. Satu bahan dasar rahasia itu, cinta.
Hee? Kenapa aku bisa tahu banyak tentang itu? Ah, tentu saja aku tahu.
Bel pintu My Memories berbunyi. Kulirik dari ujung mataku, seorang wanita dengan seragam pelayan My Memories keluar dari dalam. Ia menemukan sosokku dan tersenyum lalu menghampiri. “Hei, kau di sini!” serunya sambil duduk di hadapanku.
“Kenapa? Apakah barista My Memories tidak boleh menikmati kopi dari tempat kerjanya sendiri?” tanyaku, tertawa.
Wanita dengan plakat nama bertuliskan ‘Bella’ di dadanya itu tertawa kecil. “Bukankah hari ini kau mengambil cuti karena akan pergi dengan pacarmu? Sudah berapa tahun kalian?”
Aku tersenyum malu. Hari ini adalah hari jadi kami, yang ke-tujuh. “Hm-hmm. Pukul satu siang nanti, ia menjemputku di rumah. Hm … tujuh tahun.”
“Wah! Selamat!” seru Bella tertawa senang.
“Oh iya, kau mau ke mana memangnya?”
“Aku ada perlu sebentar,” bisiknya pelan lalu berdiri dari kursinya. “Baiklah, gadis cantik, kita akan bertemu lagi besok. Nikmatilah harimu ini!”
Kulambaikan tangan pada Bella yang kemudian berjalan keluar.
Tenganku meraih gelas di atas meja dan meneguknya. Hmm, variasi kopi yang paling memanjakan lidahku, adalah Vanilla Latte. Setelah meletakkan gelas itu kembali, tanganku mencomot cheesecake dan memakannya segigit demi segigit.
Aku menggeleng cepat saat mendengar suara knalpot sepeda motor yang menyalip mobil dari sisi kiri dengan kecepatan di atas rata-rata. Sungguh, apakah mereka tidak sayang nyawa? Kualihkan pandanganku pada toko bunga yang terletak di seberang jalan. Tidak ada pelanggan. Menyisakan gadis di belakang mesin kasir berdiri di sana sendirian, meski sesekali kulihat ia menata bunga-bunga yang ia jual. Ah, kurasa nanti aku akan mampir ke sana membeli beberapa tangkai mawar untuk vas bungaku.
Tak lama, sebuah truk melaju dengan cepat dan ugal-ugalan. Ban truk terlihat tidak stabil, sesekali belok kanan, kiri, seolah jalan raya ini miliknya sendiri. Si supir seperti tidak peduli dengan para pengendara lain di sampingnya yang beberapa kali hampir terserempet. Hal itu terjadi semakin parah sampai akhirnya mereka—si supir truk dan para pengendara lain—beradu klakson. Semakin dekat dengan My Memories, mataku semakin jelas bertemu tatap dengan si supir truk. Pria berusia sekitar kepala empat itu seperti kaget bukan main.
Aku pun begitu. Adu klakson yang tak henti-henti, suara teriakan-teriakan yang tak bisa kuhindari, membuatku cepat-cepat menutup mata. Ketakutan. Aku tidak melihat apapun, namun aku mendengar suara kaca pecah yang amat keras. Kayu-kayu, mungkin yang membopong My Memories untuk tetap berdiri gagah, terdengar runtuh menjadi keping-keping. Suara teriakan. Tangisan. Ketakutan.
Dan yang kurasakan sendiri, tubuhku terlempar masuk ke bagian dalam My Memories. Membentur benda keras yang aku tidak tahu apa.
Aku setengah sadar.
Aku tahu apa yang sedang terjadi. Truk tadi menabrak My Memories. Aku tahu bahwa aku seharusnya berdiri, pergi, atau mungkin lari seperti orang-orang lain yang ada di dalam kedai kopi ini. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak merasakan apa-apa. Tubuhku seperti tidak bisa bergerak, dan terlalu takut untuk membuka mata.
Saat itulah aku mendengar suara laki-laki memanggil namaku. Suara yang tidak lagi asing di telingaku. Suara yang selalu bisa menenangkanku hingga dapat kubuka mata karena aku percaya bahwa selama ada dia, semua akan baik-baik saja. Aku dapat melihatnya. Laki-laki berjaket hitam itu jatuh terduduk memeluk tubuhku, membiarkan sebuket mawar merah di tangannya menggelinding di lantai.
Samar.
Mungkin gendang telingaku rusak, aku tidak tahu. Yang jelas, di antara keramaian itu, yang terdengar jelas hanyalah suaranya berbisik di telingaku, “Semua akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja.” Dia mengucapkannya berkali-kali, seolah ingin aku percaya. Oh, tentu saja, aku percaya. Aku selalu percaya padanya.
Tapi aku tidak lagi dapat merasakan tubuhku. Mataku mengabur, telingaku tidak bisa lagi mendengar dengan jelas. Kurasakan setetes air membasahi bahuku. Aku tahu dia menangis. Dan aku juga ingin menangis, seandainya aku bisa. Namun aku terlalu lemah, walau hanya sekedar untuk meneteskan air mata.
Dan ketika kurasakan waktuku mulai berkurang, aku berusaha sekuat tenaga mengeluarkan suaraku untuk berbisik di telinganya. “K-kau tidak … perlu … kh-khawatir … hhh … aku … s-selalu … percaya, p-padamu.”
Laki-laki itu bergerak seperti akan menggendongku. Tapi aku menggeleng lemah. Aku tidak mau gagal mengucapkan kalimat yang terakhir ini. Jadi dia menatapku dengan tatapan yang sulit digambarkan. Tepat ketika pandangan bola mata kami bertemu, aku berbisik.
“Aku bahagia … p-pernah … mengenalmu.”
Dan aku tahu, setelah itu, aku mati.
This entry was posted in

0 komentar:

Post a Comment