3/24/2019

Isla's Tiramisu Cake

https://unsplash.com/photos/xWAAKU3rye0

Ia penasaran bagaimana rasanya. Maniskah, pahitkah, ia ingin tahu.
Adalah Hearts and Flours, sebuah toko roti yang terletak di bahu jalan raya dengan desain interior serta paduan warna yang manis dan lembut—kurang lebih sudah menunjukkan bahwa pemiliknya adalah seorang wanita. Biasa disingkat H & F, toko roti tersebut populer di kawasannya karena kokinya yang bertalenta. Bangunannya tidak terlalu besar, namun cukup untuk menampung para pelanggan mereka yang ingin memakan roti di tempat. Di bagian atas pintu depan, ada sebuah plakat besar bertuliskan Hearts and Flours, dengan dominasi warna biru pastel dan peach.
Anthony Donovan, laki-laki dengan setelan jas berwarna senada dengan rambut hitam pekat itu, duduk di salah satu kursi dekat jendela sembari bersendekap; menunggu. Ia sengaja tidak memesan apa pun dan hanya duduk diam di sana memperhatikan jalan raya dari kaca jendela, atau sesekali menatap kosong pada meja di hadapannya. Ada sedikit resah yang kini tengah mendekap erat hatinya, namun tidak dapat dipungkiri, ia juga sedang ... bahagia di saat yang bersamaan. Ah, Anthony tidak yakin apakah bahagia adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya sekarang.
Beberapa saat yang lalu, laki-laki itu sudah mantap pada pilihannya untuk menghadiri pertemuan ini. Namun sekarang, walau hanya untuk sepersekian detik, rasanya Anthony ingin kembali saja. Ia tidak tahu apa alasannya.
Apakah ... gadis itu alasannya?
“Anthony!”
Ia menoleh cepat. Mendapati si pemilik suara sedang berjalan mendekati Anthony dengan tawa lebar tersungging di bibirnya. Gadis itu. Gadis yang dulu selalu tersenyum sembari menyodorkan kue tiramisu buatannya.
Gadis yang kini adalah koki Hearts & Flours.
Isla.
◌◌◌
Di dalam buku fiksi yang Anthony baca, dunia selalu seolah berputar dengan pemeran utama sebagai porosnya. Seolah-olah, dunia ini hanya terpusat hanya pada si pemeran utama, dan mengabaikan yang lainnya. Ia penasaran, apakah di dunia nyata juga bisa seperti itu? Apa di dunia nyata, dunia bisa berputar hanya berpusat pada satu orang saja? Kalau memang iya, bagaimana cara menentukan siapa pemeran utamanya?
Argh! Anthony mengacak-acak rambutnya sendiri dan meletakkan buku fiksi yang ia baru saja baca ke atas meja. Terlepas dari pusing yang dirasakan kepalanya, laki-laki itu mau tidak mau masih memikirkan hal tersebut. Hingga seseorang memanggil namanya.
“Anthony!” seru seseorang dengan senyum lebar yang kini sedang berdiri di ambang pintu kelas. Laki-laki yang sudah jadi sahabat sebaya Anthony sejak mereka masih menangis karena berebut mainan itu memanggilnya. Evan Clark. Laki-laki yang sejak kecil dianugerahi kemampuan sosial luar biasa baik, berbanding terbalik dengan Anthony. Jika boleh dikatakan kepribadian mereka nyaris berbeda seratus delapan puluh derajat. Ia juga tidak mengerti, apa yang membuat Evan masih tetap ingin berteman dengannya.
Ah, jika dunia ini bisa berputar terpusat pada pemeran utama, maka mungkin laki-laki bernama Evan Clark inilah pemeran utamanya. Dan jika Evan adalah pemeran utama, maka apa sebutan yang tepat untuk Anthony? Tokoh pembantu pemeran utama?
“Ayolah, kita ke kantin. Bel sudah berbunyi daritadi, kau tidak lapar?” Evan memang tidak sekelas dengan Anthony, jadi tiap bel berbunyi, laki-laki itu datang ke kelasnya supaya mereka makan ke kantin bersama.
“Kenapa kau repot-repot datang ke kelasku? Kau punya banyak sekali teman untuk diajak ke kantin bersama.”
Evan melirik Anthony sembari menahan tawa. “Apa? Kau kenapa? Kau ... cemburu?”
“Jangan bodoh.”
Laki-laki yang kini berjalan menelusuri lorong di samping Anthony itu makin tertawa terpingkal-pingkal. “Wah, wah, kau pasti sedang terbawa suasana dari buku yang barusan kau baca, iya kan? Anthony, walau aku punya teman lain sampai jutaan sekali pun, aku akan tetap memilihmu.”
“Kau terdengar menjijikkan.”
“Iya, kan? Bagiku juga menjijikkan.”
“Lalu kenapa kau mengatakannya?”
“Kenapa aku mengatakannya?” tanya Evan sambil tersenyum, membuat Anthony pun ikut menyungging tawa kecil sambil mengalihkan pandangannya. Mereka memasuki kantin masih dengan saling mengejek satu sama lain, menertawakan hal-hal kecil seperti yang biasa mereka lakukan.
Baik Anthony Donovan atau pun Evan Clark tinggal di kawasan perumahan yang sama. Sebagai anak yang sama-sama ditinggal ibu mereka, Anthony dan Evan bisa mengerti dan memahami satu sama lain. Hal itulah yang membuat mereka mampu bertahan untuk tetap bersama-sama hingga sekarang. Anthony tahu bagaimana Evan masih selalu berjuang untuk mencari ibunya yang telah lama pergi dan menikah dengan pria lain, dan Evan tahu seperti apa Anthony selalu dipaksa ayahnya untuk menuruti apa yang pria itu inginkan mulai dari melanjutkan bisnis keluarga, hingga perjodohan yang direncanakan bahkan ketika usia Anthony belum genap delapan belas tahun.
Bagi Anthony, Evan adalah satu-satunya orang yang selalu mengulurkan tangan padanya ketika ia butuh untuk berpegang.
“Apa yang kau baca sekarang? The Phantom of The Opera?” tanya Evan begitu laki-laki itu sudah duduk dan meletakkan makanannya di meja kantin.
Ia mengambil posisi di hadapan Evan sembari menjawab dengan suara rendahnya, “Pride and Prejudice.” Mendengar jawaban itu, laki-laki di hadapan Anthony hampir saja menyemburkan makanan yang ada di mulutnya. Ia hanya mengerutkan kening, sementara Evan meneguk minumannya dan menatap Anthony dengan tatapan tidak percaya.
“Kau? Pride and Prejudice? Kau membaca The Phantom of The Opera saja aku sudah hampir mau mati tidak percaya, sekarang kau baca Pride and Prejudice? Wah,” ujar Evan sembari menggeleng. Memang, akhir-akhir ini, Anthony yang memang gemar membaca itu beralih dari membaca komik ke buku-buku fiksi milik Evan. Sejak dulu, Evan Clark sudah jadi siswa paling pandai di pelajaran Sastra—sebenarnya laki-laki itu memang pandai hampir di semua pelajaran, kecuali Matematika—karena hobinya membaca buku-buku fiksi.
“Apa? Kau juga membacanya, kan.” Meski melakukan pembelaan, Anthony tahu apa yang dimaksud oleh Evan. Mereka adalah dua orang yang berbeda. Evan yang notabene suka dan terbuka dengan segala jenis genre, yang tidak masalah dipandang terlalu sentimental; tidak mengherankan jika dia membaca buku fiksi dengan genre roman. Tapi Anthony? Laki-laki itu dulunya hanya membaca komik laki-laki dengan genre olahraga, aksi, dan sejenis itu, maka wajar saja kalau Evan terkejut jika ia mulai membaca roman.
“Tapi—” Evan sudah ingin membuka suara, namun ia megurungkan niatnya sendiri. Setelah beberapa saat berlalu, laki-laki itu memulai percakapan lagi. “Kau sedang jatuh cinta?”
Sekarang giliran Anthony yang hampir tersedak dengan pertanyaan itu. “Kau mau mati?”
“Tapi hanya itu kemungkinannya.”
Tepat ketika Anthony baru akan membalas kalimat Evan, sebuah suara memanggil dari kejauhan. “Evan!”
Tuhan, Anthony tahu suara ini. Suara gadis itu.
Si pemilik suara berlari kecil ke arah meja mereka dan duduk di samping Evan. Gadis itu meletakkan makanannya di sana. “Isla, ada apa?”
“Kau ada waktu luang setelah pulang sekolah?”
“Memangnya kenapa?”
“Ada materi pelajaran yang ingin aku tanyakan.”
“Oh, ya? Boleh saja.”
Anthony menenggelamkan diri dalam makanannya. Ia mendengar semua percakapan itu, tapi pura-pura tidak mendengarnya. Jantungnya berdegup dengan cepat, tapi seolah tidak sedang terjadi apa-apa pada organ malang itu.
“Anthony!”
Jangan panggil aku. Jangan.
“Anthony! Kau juga mau ikut belajar bersama?”
Mau tidak mau, laki-laki itu mendongakkan kepala. Menatap gadis yang sedari tadi mengajaknya bicara.
Kali itu, ia tidak tahu apakah karena cahaya matahari yang menerobos masuk melalui kaca jendela kantin, ataukah gadis itu memang tampak bercahaya. Mata bulatnya berbinar-binar, senyumnya merekah lebar seperti biasa, dan nada bicaranya terdengar lembut serta menyenangkan. Secara bergantian Anthony menatap Isla dan Evan, bertanya-tanya apakah ia harus berkata iya atau tidak.
Namun sebelum ia sempat menjawab, Evan sudah membuka suara, “Karena Anthony pengangguran, dan tidak ada kerjaan lain di rumah selain membaca, dia ikut.”

Anthony dan Evan duduk di meja perpustakaan dan sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Tak lama kemudian, gadis yang mereka tunggu pun tiba. Dengan membawa tas dan buku-buku di kedua tangannya. “Maaf, kalian sudah lama menunggu?” ujar gadis itu duduk di samping Evan Clark.
“Tidak, kami baru saja sampai,” ujar Evan. “Jadi yang mana yang ingin kau tanyakan?”
Ketika mereka mulai tenggelam dalam materi pelajaran, Anthony juga ikut tenggelam dalam bacaannya sendiri. Sesekali melirik Isla yang sedang tertawa karena lelucon Evan, atau mengagumi sinar matahari yang menghujani wajah gadis itu, atau ... betapa tampak senang sekali mereka berdua. Evan dengan kemampuannya berbicara sama sekali tidak ada masalah dalam menerangkan materi pelajaran, Isla ... gadis itu tidak melepaskan pandangannya sedikit pun dari Evan.
Serasi sekali.
“Oh, ya!” seru Isla membuat Anthony sedikit mengalihkan pandangannya dari buku yang ia baca. “Aku lupa. Aku membuat kue tiramisu tadi pagi-pagi sekali,” katanya. Gadis itu mengeluarkan tepak makan dari dalam tas dan meletakkannya di atas meja perpustakaan.
“Wah! Buat kita?” tanya Evan.
“Hm-hmm.” Isla mengangguk. “Maaf kalau rasanya mulai agak tidak enak. Dan lagi, aku baru belajar.”
“Belajar? Kau suka memasak?”
“Sangat suka.”
“Wah, aku boleh coba? Aku sangat suka tiramisu.” Setelah mendapat anggukan dari Isla, Evan menyendok sebagian kecil kue tiramisu itu dan memakannya. “Hmm! Enak sekali! Kau sungguh baru belajar? Enak sekali, kok.”
“Oh, ya?” Isla tertawa lebar.
“Anthony, makanlah!” seru Evan menyodorkan sendoknya.
“Cobalah, tapi maaf kalau rasanya kurang enak,” ujar Isla.
Aku tidak akan memakannya. Anthony menatap kue tiramisu di atas meja itu dengan tatapan kosong. Tuhan, ia penasaran bagaimana rasanya. Maniskah, pahitkah, ia ingin tahu. Ia tidak terlalu suka makanan manis, tapi jika Isla Ross yang membuatnya, ia sungguh-sungguh ingin memakannya. Tapi ... ia tidak bisa memakannya. Ia bisa memakan kue tiramisu lain, tapi kue tiramisu ini, ia tidak bisa memakannya.
“Aku ... tidak suka makanan manis,” ujar Anthony pada akhirnya. Laki-laki itu kini berusaha menghindari tatapan mata Isla. Ia tidak ingin tahu bagaimana cara Isla menatapnya. “Aku alergi makanan manis.”
“Apa?” Evan mengerutkan kening; heran dan kecewa di saat yang bersamaan. “Kau memang tidak suka makanan manis, aku tahu. Tapi ... alergi? Sejak kapan?”
“Hmm.” Anthony tersenyum tipis. “Akhir-akhir ini.”
“Oh,” ujar Evan mengangguk.
Isla, bagaimana bisa aku memakan kue tiramisu yang kau buat khusus untuk orang lain?
◌◌◌
Setelah itu, mereka sering menghabiskan waktu bertiga. Isla tidak jarang membuatkan kue tiramisu, dan kue-kue yang lain, untuk mereka. Gadis yang selalu tertawa itu tidak bosan juga menawarkan pada Anthony. Tetapi, pada akhirnya, ia tidak pernah mencoba bahkan satu potong pun kue tiramisu buatan Isla.
Dan sekarang gadis itu berdiri di hadapannya.
“Anthony, bagaimana kabarmu?”
“Ah, aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” Ia duduk setelah Isla duduk di kursi di hadapannya.
Gadis itu masih sama persis seperti yang ada pada ingatan Anthony. Kedua matanya berbinar-binar, bibirnya tidak bosan menyungging senyum, nada suaranya lembut dan sangat menyenangkan. Isla Ross tidak bisa menyembunyikan kebahagiannya. “Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat sekarang. Wah, kupikira aku tidak bisa bertemu denganmu lagi setelah kelulusan kita dulu.”
“Maaf, aku pergi sangat cepat, kan? Aku sampai tidak berpamitan padamu.” Benar, ia pergi dari London tepat setelah upacara kelulusan mereka sembilan tahun lalu. Tapi ayahnya memang sudah berencana untuk menguliahkannya di New York sejak lama. Dan mau tidak mau, ia menurut.
Evan bahkan marah padanya selama berminggu-minggu.
Ah, tapi terlepas dari semua itu, Anthony masih sering bertemu Evan. Sahabatnya itu sekarang menjadi arsitek salah satu perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan milik Anthony, jadi Evan juga sering pulang-pergi London-New York. Dan untuk Isla, ia tidak tahu kabar gadis itu, kecuali dari Evan ketika mereka bertemu. Evan akan menceritakan betapa ia selalu menikmati kue-kue Isla, betapa Isla semakin cantik di tiap harinya, dan ia senang sekali ketika Isla memutuskan untuk menjadi koki di sebuah toko kue.
Anthony hanya bisa tersenyum mendengarnya.
“Iya, kau pergi sangat cepat dan aku benar-benar marah padamu,” ujarnya. “Oh, kau belum memesan apa-apa, ya? Kau mau apa?”
Kali ini, apakah boleh? Bolehkah? “Kue tiramisu saja.”
Tidak butuh waktu lama untuk Anthony menunggu, Isla Ross kembali membawa dua potong kue tiramisu dan menyodorkannya. “Evan bilang dia akan datang sebentar lagi. Dan sebagai hukumanmu, kau harus makan dua kue tiramisu ini sampai habis.”
Ia tersenyum tipis.
Perlahan, Anthony mulai menyendok bagian kecil kue tiramisu itu dan memakannya. Ah, ternyata seperti ini rasanya, gumamnya dalam hati. Benar-benar seperti Isla Ross. Manis sekali.
Kali itu ia mengutuk dirinya sendiri, karena ternyata ... ia masih mencintai gadis itu.
Isla, jika aku memakan kue tiramisu buatanmu waktu itu, apakah aku bisa menyadarkan diriku sendiri dan berhenti mencintaimu?
Ataukah ... aku malah tidak bisa mengalihkan pandanganku darimu?
◌◌◌
Di kunjungan terakhir Evan ke New York sebelum Anthony kembali ke London.
“Hei, aku ingin tanya pendapatmu.”
“Hmm, apa?”
Evan meletakkan kotak kecil dengan benda berkilau di dalamnya di hadapan Anthony sembari tersenyum tipis. “Bagaimana menurutmu?”
Ia seharusnya tidak terkejut. Memang sudah terlihat sejak awalnya, bahwa pemeran utama akan selalu mendapatkan gadis yang diinginkannya. “Indah. Aku yakin dia suka.”
Sahabatnya itu tertawa kecil.
“Congratulation.”
This entry was posted in

0 komentar:

Post a Comment