11/18/2019

Perempuan dan Stereotipe Gender: Perempuan Berpendidikan untuk Masa Depan yang Lebih Baik

https://stocksnap.io/photo/FMJOIWUH4F
Konstruksi sosial di masyarakat membangun dinding-dinding tak kasat mata dengan tujuan supaya perempuan tetap diam di tempatnya. Walau dulu telah melewati dan mengatasi masa-masa di mana perempuan menghadapi pembatasan, serta ketidaksetaraan, secara fisik, dewasa ini masih ada dinding-dinding untuk membatasi perempuan dalam pilihan-pilihannya; pendidikan, karier, penampilan. Nilai-nilai, norma, serta kepercayaan yang dipraktikkan di tengah masyarakat membuat perempuan bukan lagi dibatasi secara fisik, namun secara sosial. Hukumannya bukan ditembak mati atau dicambuk seratus kali, tetapi berupa hukuman sosial hingga perlahan-lahan semangat dan kepercayaan dirinya padam. Masyarakat tampaknya senang sekali hidup dalam bayang-bayang apa kata tetua. Orang-orang berbondong-bondong menyatakan bahwa mereka manusia baru yang hidup pada peradaban lebih maju, tetapi pandangan mereka masih tidak mampu memilah-milah mana yang pantas untuk dipercaya dan mana yang tidak. Dongeng masa lalu dan kepercayaan tak berdasar dijadikan pegangan, namun fakta di depan mata malah diabaikan. Masyarakat hidup dalam katanya.
Mereka bilang, perempuan tidaklah perlu menimba ilmu tinggi-tinggi, sebab nantinya juga akan berakhir di tempatnya; dapur. Atau, jika itu sudah tidak terlalu banyak ditemukan, maka penggantinya adalah: perempuan jangan mengenyam pendidikan tinggi-tinggi, nanti susah mendapat jodoh. Dewasa ini, golongan tua di Indonesia memotivasi anak-anak perempuan mereka untuk lebih mementingkan pernikahan ketimbang pendidikan. Tidak sedikit dari mereka yang lebih ingin menanyakan tentang calon menantu, ketimbang nilai-nilai yang didapat oleh anak perempuan mereka di institusi. Tentu saja dengan alasan bahwa, jika perempuan sibuk dengan pendidikannya, maka mereka tidak akan ada waktu untuk mencari pasangan atau, tidak ada laki-laki yang mau dengan mereka karena merasa tidak pantas, dengan kata lain minder, dalam ukuran pendidikan. Stereotipe yang muncul ini bukan hanya memakan perempuan sebagai korban, tetapi juga laki-laki, yang mana perempuan dipaksa untuk menjadi lebih rendah posisinya ketimbang laki-laki, dan di sisi lain, laki-laki dituntut untuk bisa mengungguli atau berada di posisi lebih tinggi dari perempuan.
Sebegitu tidak inginnyakah mereka jika perempuan berada di posisi yang lebih tinggi? Apakah salah untuk perempuan menginginkan hal yang sama dengan laki-laki?
Dalam karier pun serupa; perempuan disarankan untuk tidak bekerja pada bidang-bidang yang dianggap bukan bidang mereka. Perempuan sering kali dibatasi pergerakan dan posisinya di perusahaan atau tempat mereka bekerja. Dalam jajaran petinggi perusahaan atau tatanan pemerintahan pun dapat dilihat, bahwa perempuan mengambil tempat dua banding delapan kalau bukan satu banding sembilan dari laki-laki. Katanya, karena perempuan seharusnya bekerja di rumah, bukan di kantor. Nilai perempuan sebagai manusia dengan hak kesetaraan telah hilang perlahan-lahan, sebab adanya stereotipe gender yang dikonstruksi oleh masyarakat. Pendidikan yang tinggi, posisi tinggi dalam bidang pekerjaan, dianggap bukan padanan untuk perempuan.
Pada penampilan pun demikian. Perempuan dianggap sebagai objek keindahan sehingga mereka dituntut untuk berpenampilan baik sesuai dengan standar masyarakat; langsing, kaki jenjang, rambut indah, tubuh wangi. Semua yang tidak termasuk dalam standar tersebut, dianggap kurang baik atau bahkan tidak baik. Perempuan sedemikian rupa diatur dan dituntut, mulai dari pilihan mereka terhadap pendidikan, bidang-bidang pekerjaan, bahkan hingga penampilan, hal yang sifatnya personal. Masyarakat dewasa ini bersembunyi di balik topeng kebebasan supaya dianggap bagian dari penjunjung kesetaraan, tetapi nyatanya hukuman, hujatan, dan penghakiman sosial itu tetap ada di tengah-tengah mereka. Memang benar tidak ada yang melarang perempuan untuk tidak memiliki tubuh langsing, tetapi masyarakat membuat candaan, kadang mengolok-olok atasnya dan berujung pada body shaming. Hukuman itu datang bukan berupa tembakan dan cambukan, tetapi berupa kata-kata yang menyerang tepat pada titik terlemah milik manusia yang susah disembuhkan. Tak kasat mata, tapi sakitnya jauh lebih terasa.
Perempuan dengan pengetahuan luas, pendidikan tinggi dan segudang prestasi, pekerjaan yang mumpuni, serta kepercayaan diri baik terhadap penampilan atau segala kompetensi dalam diri, seharusnya menjadi gambaran perempuan ideal yang pada masa ini dibutuhkan oleh masyarakat. Perempuan adalah contoh dan pendidikan yang utama dalam keluarga, untuk suami dan anak-anaknya, maka oleh karena itu, dibutuhkanlah perempuan yang hebat untuk membangun keluarga yang hebat. Sebab perkara rumah tangga bukanlah main-main; anak-anak harus diajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat, pengetahuan-pengetahuan umum sebagai bekal sebelum mengenyam pendidikan formal, perihal pilihan-pilihan yang harus dilakukan. Seorang perempuan sebagai istri juga dituntut untuk dapat memahami permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga termasuk keluh kesah suaminya, memberi saran terhadap penyelesaian masalah serta pilihan-pilihan yang dihadapkan dalam kehidupan. Menjadi seorang ibu dan istri tidaklah sederhana, maka dari itu dibutuhkanlah perempuan yang hebat.
Dengan bekal pendidikan yang tinggi, perempuan dapat membekali anak-anak mereka dengan ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Dengan kecakapan sosial serta pengalaman dalam bidang pekerjaan, perempuan dapat mendengarkan dan barangkali juga menyelesaikan masalah-masalah yang tengah dihadapi oleh rumah tangga mereka. Dengan begitu, lahirlah anak-anak hebat dengan kekayaan ilmu pengetahuan, kepekaan sosial yang tinggi, dan kecakapan dalam mengatasi masalah. Anak-anak hebat inilah yang nantinya akan menjadi bagian dari generasi baru yang unggul. Perempuan dengan pendidikan dan posisi yang tinggi dalam pekerjaan dapat dikatakan juga cenderung menjadi pribadi yang kuat, cakap, dan mandiri, sebab mereka memiliki potensi diri yang baik untuk mengatasi masalah tanpa harus bergantung pada orang lain. Karakter-karakter inilah yang nantinya akan dijadikan contoh oleh anak-anak mereka dan patut dikembangkan. Anak-anak akan tumbuh besar dengan mencontoh orang-orang terdekat mereka, dalam kata lain keluarga, maka jika ibu mereka adalah sosok yang kuat, cakap, dan mandiri, anak-anak tersebut juga akan tumbuh menjadi pribadi yang serupa. Masyarakat dewasa ini senang sekali dengan apa kata tetua, benar? Katanya, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Semua ini akan menjadi mungkin karena mereka memiliki seorang ibu yang hebat, yang dapat mendidik mereka dengan baik. Dapat ditarik kesimpulan bahwa meski bukan satu-satunya, tapi perempuan adalah salah satu sosok yang mengambil peran penting dalam penciptaan generasi unggul.
Lantas mengapa perempuan masih mendapat batasan dalam pergerakan mereka dalam bidang pekerjaan ataupun pendidikan?
Jika berbicara tentang kesetaraan, dan jika di masa ini kesetaraan itu telah dicapai oleh perempuan, maka posisi perempuan berada di jajaran atas yang setara dengan laki-laki seharusnya menjadi hal yang wajar. Posisi itu harusnya tidaklah menjadi bahan perbincangan masyarakat, atau bahkan menjadi penghalang untuk perempuan dalam urusan percintaan dan rumah tangganya. Prestasi yang didapat mereka harusnya menjadi hal yang patut dibanggakan, bukannya tidak dihiraukan. Pendidikan tinggi mereka semestinya terus didukung, bukan diberhentikan. Posisi tinggi di pekerjaan mereka harusnya menjadi hadiah atas kerja keras yang selama ini dilakukan, bukannya menjadi beban. Perempuan-perempuan seperti demikian berhak dihargai, diberi kesempatan, dan didukung untuk terus maju. Mereka adalah sosok yang nantinya akan mendidik anak-anak mereka dengan pengetahuan yang mereka miliki dan berkontribusi dalam penciptaan generasi muda yang lebih baik.
Pendapat-pendapat lama yang tidak lagi sesuai dengan kenyataan yang ada di depan mata sudah sepatutnya ditinggalkan. Sebagai manusia yang nantinya akan terus berkembang bersama dengan peradaban zaman, kemampuan untuk memilah-milah mana yang pantas dipercaya dan mana yang tidak, dibutuhkan. Jika memang mendukung kesetaraan, maka praktikkan. Terkadang isu kesetaraan itu muncul di tengah-tengah masyarakat dalam skala kecil hingga manusia kerap kali tidak sadar. Menunjukkan dukungan terhadap kesetaraan dapat berupa sesederhana menyetujui anak perempuan untuk melanjutkan studinya ke mana pun ia mau, serta berhenti melarang dengan alasan bahwa perempuan berpendidikan tinggi tidak akan segera menikah. Sebab, jodoh bukan manusia yang mengatur; Tuhanlah pembuat skenario untuk mereka. Sesederhana menghargai prestasi-prestasi yang didapatkan oleh anak perempuan terkait dengan studi dan kariernya. Karena untuk mendapatkan prestasi-prestasi itu, mereka telah berjuang sekeras mungkin yang barangkali tidak seorang pun tahu. Manusia memang tidak pernah tahu apa saja yang telah dilalui oleh manusia lain untuk bisa berdiri di posisi mereka sekarang.
Hal terkecil yang dapat dilakukan untuk perempuan-perempuan dengan segudang prestasi adalah dengan tidak menutup kesempatannya untuk berkembang lebih baik lagi. Mari tidak menghakimi mereka, mari tidak menghujat, mari belajar menghargai, dan mati tidak berusaha memberhentikan jalan mereka dengan alasan-alasan yang tidak ada hubungannya sama sekali. Karena bagaimana pun juga, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan setinggi-setingginya, kesempatan yang sama dalam berkarier, serta kebebasan dalam menggapai cita-cita.
Mereka, perempuan-perempuan dengan segudang prestasi itu, adalah sosok yang menggenggam masa depan yang lebih baik.

0 komentar:

Post a Comment